Monday 14 November 2011

Antarmuka Komputer sebagai Pengontrol Lampu Penerangan Jalan (16 lampu) di Area Komplek Perumahan Berbasis Mikrokontroller AT89S51

Oleh : Eko Saputro, 1309010064

ABSTRAK
Pada kompleks perumahan sering dijumpai fasilitas internal maupun external rumah yang disediakan oleh pengelola kompleks. Salah satu fasilitas external nya yaitu berupa lampu penerangan jalan. Lampu penerangan jalan ini digunakan sebagai penerangan saat menjelang malam hari, agar setiap pemilik rumah ataupun pengguna jalan merasa adanya kenyamanan dan keamanan. Pada umumnya pemilik rumah atau petugas satpam masih mematikan lampu jalanan secara manual, hal tersebut menyebabkan sering terjadinya lampu jalan tetap menyala pada disiang hari. Masalah tersebut mengakibatkan pemborosan pada pemakaian listrik. Seiring dengan kemajuan teknologi maka diperlukan alat yang dapat memudahkan satpam perumahan menyalakan lampu jalanan saat menjelang malam atau mematikannya saat menjelang pagi secara otomatis dari interface Personal Computer (PC). Berkaitan dengan masalah tersebut, makalah ini menjelaskan tentang perancangan pengontrol lampu jalanan yang dikontrol dari PC yang berada di ruang control (pos satpam). Secara umum alat ini dapat mengendalikan dan dapat melihat kondisi dari lampu jalanan tersebut. Perancangan alat ini menggunakan perangkat lunak (software program pengendali), rangkaian antarmuka berkomunikasi secara serial melalui RS-232 dan driver menggunakan rangkaian Relay serta rangkaian converter AC to DC untuk pengkondisi lampu jalanan tersebut. Program Pengendali lampu jalanan yang dibuat dangan Visual Basic diinstal pada PC yang telah terpasang antarmuka AT89S51 dan driver yang dihubungkan dengan lampu jalanan. Pada perancangan, alat mampu mengendalikan 16 lampu penerangan jalan.


Kata kunci : Visual Basic, AT89S51, Relay, Serial


http://www.indowebster.com/download/files/antarmuka_komputer_sebagai_pengontrol_lampu_penerangan_jalan_16_lampu_di_area_komplek_perumahan_berbasis_mikrokontroller_at89s51

Balada Presiden 207 Hari

Jakarta - Pagi masih sangat muda, semuda Republik Indonesia. Saat itu RI baru berusia 2 tahunan. Namun sepagi itu, Yogyakarta sudah diberondong bom. Saat itu, 19 Desember 1948, jam baru menunjuk pukul 05.30 WIB, tapi langit ibukota Indonesia itu sudah dipenuhi pesawat-pesawat pembom Belanda.

Pesawat-pesawat itu menyerang lapangan terbang Maguwo. Setelah 1 jam membombardir bom, pesawat menurunkan pasukan payung mereka untuk menduduki Maguwo dan menyerbu Yogya.

Serangan Belanda yang tiba-tiba membuat Kepresiden sangat mencekam. Di antara raungan pesawat dan dentuman bom, kabinet segera menggelar rapat darurat. Hadir Presiden Soekarno, Perdana Menteri Mohamad Hatta, Menteri Negara Sultan Hamenku Buwono, Menlu Agus Salim, Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Ali Sastroamidjojo, Menteri Pekerjaan Umum Ir Laoh dan Kepala Sekretaris Presiden A G Pringgodigdo.

Rapat memutuskan pembentukan Pemerintahan Darurat RI (PDRI) yang dikepalai Sjafruddin Prawiranegara. Keputusan ini untuk mengantisipasi pendudukan Belanda.

Sjafruddin sendiri tengah berada di Sumatera. Sebulan sebelumnya, sebagai menteri kemakmuran, ia ditugaskan Bung Hatta untuk membenahi kesejahteraan rakyat di Sumatera Tengah.

Pembentukan PDRI disertai dengan ketegasan selama pemerintah RI tidak bisa menjalankan fungsi dan tugasnya karena tertawan oleh Belanda maka pemerintah daruratlah yang harus meneruskannya.

Menteri Perhubungan Ir Djuanda ditugaskan untuk segera menyampaikan keputusan itu kepada Sjafruddin dengan telegram. Namun kabar ini tidak pernah sampai pada Sjafruddin.

Hari itu pula, dengan cepat Yogya bisa dikuasai Belanda. Sore hari setelah menguasai Kepresiden, Belanda pun menawan Soekarno, Hatta dan sejumlah menteri. Tiga hari setelah ditahan, pada 22 Desember, mereka dibuang ke Pulau Bangka.

Pada hari yang sama dini hari, sekitar pukul 03.40 WIB, Sjafruddin mengumumkan berdirinya PDRI. Pengumuman dilakukan pagi buta di tengah perkebunan teh Halabang, Sumatera.

Dalam pengumuman itu, Sjafrudin menyebut dirinya sebagai ketua PDRI merangkap menteri pertahanan, menteri penerangan dan menteri luar negeri adinterim.

Kemudian Wakil Ketua Teuku Mohamad Hassan merangkap menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan dan Menteri Agama. Letnan Jenderal Sudirman sebagai Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) , Komisaris Besar Polisi Umar Said sebagai Kepala Jawatan Kepolisian Negara.

Sebelum pengumuman itu, terjadi perdebatan soal jabatan Sjafruddin. Pertemuan itu antara lain dihadiri Koordinator Kemakmuran untuk Sumatera Abdul Latief, Koordinator Perhubungan untuk Sumatera Indracahya, Komisaris Negara urusan Keuangan Lukman Hakim, Direktur BNI Abdul Karim, Komisaris Besar Polisi Umar Said, Komodor Udara Suyono.

Para tokoh yang hadir menginginkan Sjafruddin disebut sebagai presiden PDRI, tapi pria kelahiran Banten itu menolaknya karena untuk menghindarkan kemungkinan dugaan makar. Maklum mandat dari Soekarno dan Hatta untuk membentuk PDRI tidak pernah sampai kepada Sjafruddin.

Setelah disepakati jabatan Sjafrudin sebagai ketua, pembentukan PDRI dan kabinet diumumkan dengan dipancarluaskan langsung oleh stasiun radio darurat RPDRI yang dikawal anak buah Komodor Udara Suyono.

Dua hari setelah mendeklarasikan PDRI, 24 Desember 1948, Sjafruddin berpidato di radio AURI memberitahukan bangsa Indonesia tidak akan menyerah meskipun Soekarno dan Hatta sudah ditahan Belanda.

“Belanda mengira bahwa dengan ditawannya pemimpin tertinggi kita, pemimpin-pemimpin lain akan putus asa. Negara RI tidak tergantung pada Soekarno-Hatta, sekalipun kedua pemimpin itu sangat berharga bagi kita. Patah Tumbuh hilang berganti,” kata Sjafruddin.

Kepada seluruh angkatan perang negara RI, Sjafruddin menyerukan perlawanan habis-habisan kepada Belanda. “Kami serukan bertempurlah, gempurlah Belanda di mana saja dan dengan apa saja mereka dapat dibasmi. Jangan letakkan senjata atau menghentikan tembak menembak kalau belum ada perintah dari pemerintah yang kami pimpin,” tegas Sjafruddin.

Setelah pidato pertama lewat radio itu, Syafruddin dan kabinetnya harus mengungsi lagi. Mereka harus mengungsi lagi agar tidak tertangkap karena Belanda bisa mengecek gelombang radio untuk menemukan keberadaan mereka. Menjelang subuh, rombongan berkumpul di depan rumah kediaman Sjafrudin. Mereka akan menuju Pekanbaru.

Rombongan yang terdiri sekitar 20 orang harus menembus rimba belantara, yang tentu saat itu masih banyak dihuni binatang buas. Tidak hanya terancam terkaman binatang buas, rombongan juga harus menyelamatkan diri dari berondongan bom.

Selain itu juga medan yang sulit juga membahayakan keselamatan mereka. Pernah suatu ketika, jep yang ditumpangi Sjafruddin terbalik karena kondisi jalan sangat buruk dan penuh lumpur. Kacamata Sjafruddin pecah dan tubuhnya terbalut lumpur. Untung ia tidak apa-apa.

Sjafruddin memimpin PDRI selama 6 bulan atau 207 hari. Karena dipimpin dari dalam hutan, oleh Belanda PDRI sering diplesetkan sebagai Pemerintah Dari Rimba RI. Perang terhadap Belanda tidak saja dilakukan secara fisik, perang juga dilakukan lewat radio dan diplomasi. Setiap mengungsi peralatan radio yang berfungsi mengumumkan kebijakan dan pidato Sjafruddin turut serta.

Melalui siaran Radio Sumba Raya dan Radio Angkatan Udara saat itu, Sjafruddin mengatakan pemerintahan RI masih ada. Karena Belanda mengatakan RI sudah jatuh, dibalas Sjafruddin RI tidak jatuh.

“Belanda balas kalau tidak jatuh kenapa pemerintahan ada di hutan. Dijawab Safruddin, walau pemerintahan ada di hutan tapi masih berada di dalam negeri sendiri," terang Najamudin Busro, kerabat Sjafruddin yang kini menjadi ahli sejarah Banten.

PDRI juga memimpin diplomasi di luar negeri untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sjafrudin sebagai Ketua PDRI menunjuk AA Maramis yang sudah ada di luar negeri sebelum agresi militer Belanda menjadi Menteri Luar Negeri dalam pengasingan. Bersama-sama dengan Dr Sudarsono sebagai wakil RI di India, mereka memperjuangkan NKRI lewat konferensi di New Delhi.

“Hal itu menguntungkan sekali karena kedua pejabat itu bisa memberi keterangan selengkap-lengkapnya, kepada Nehru tentang keadaan Indonesia,” tulis Ali Sastro Amidjojo dalam bukunya 'Tonggak-Tonggak di Perjalananku'.

Resolusi konferensi New Delhi meminta Dewan Keamanan PBB supaya membebaskan semua anggota pemerintah Indonesia Selain itu juga, meminta Belanda segera menarik pasukannya dari Yogyakarta dan mengembalikan Yogya yang didudukinya kepada RI.

Berkat konferensi New Delhi, dunia internasional menekan Belanda. Akhirnya pada 7 Mei 1949, Belanda terpaksa menandatangani Perjanjian Roem-Van Royen. Inti perjanjian yakni menyetujui penarikan mundur pasukan Belanda dari Yogya.

Soekarno dan Hatta yang ditahan di Bangka dibebaskan dan kembali ke Yogya pada 6 Juli. Sementara Sjafrudin, kembali ke Yogya pada 13 Juli 1949 dan langsung menyerahkan mandatnya kepada Wakil Presiden/Perdana Menteri Mohammad Hatta.


***

Meski memiliki jasa sangat besar, Sjafruddin merupakan orang yang rendah hati. Ia tidak pernah merasa tindakannya memimpin PDRI merupakan hal yang luar biasa.

"Saya ini seorang manusia biasa. I'm only doing my job. Apa yang dilakukan di PDRI itu sesuatu yang biasa-biasa saja," kata Sjafruddin seperti diungkap putranya, Farid Prawiranegara saat memperingati 100 Tahun Sjafruddin Prawiranegara, pada 28 Februari 2011.

Sjafruddin meninggal pada 15 Februari 1989 dan dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta. Sebelum meninggal, ia pernah dijebloskan ke penjara oleh Presiden Soekarno dengan tudingan melakukan pemberontakan PRRI. Ia juga menjadi musuh Presiden Soeharto karena terus bersikap kritis.

Pada 8 November 2011, setelah perdebatan panjang soal cap pemberontak pada Sjafruddin terkait PRRI, akhirnya pria luar biasa ini ditetapkan sebagai pahlawan nasional.


Tulisan detik+ selanjutnya: laporan khusus Pemberontak Jadi Pahlawan yang lain yaitu 'Dipenjarakan Soekarno, Dicekal Soeharto' dan 'Kehilangan Jejak Sjafruddin di Anyer' serta laporan khusus berjudul 'Melawan Seribu Hakim Nakal' bisa anda dapatkan di detiKios for Ipad yang tersedia di apple store.

(iy/iy)

Friday 11 November 2011

Puasa Arafah, Puasa di Bulan Dzulhijah dan Tentang Idul Adha

Tentu banyak di antara kita yang telah mengetahui bahwa di hari raya idul Adha ini, umat Islam menyembelih hewan kurbannya dalam rangka ketaatan kepada Allah ‘azza wa jalla. Akan tetapi, sesungguhnya pada Idul Adha tidak sekedar pergi untuk shalat ‘ied, kemudian menunggu daging hasil sembelihan dan meramunya menjadi makanan yang lezat. Ada hal-hal lain yang perlu dilakukan, sehingga Idul Adha ini penuh makna dalam usaha kita meraih pahala-Nya. Semoga Idul Adha tahun ini menjadi Idul Adha yang lebih baik dengan amalan-amalan yang sesuai tuntunan nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aamiin ya mujibas saailin…

Berpuasa di Sembilan Hari Pertama Bulan Dzulhijjah

Mulai dari awal bulan Dzulhijjah, ternyata telah ada amalan yang disunnahkan untuk kita kerjakan. Hal ini telah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam contohkan sebagaimana terdapat dalam hadits,

أنَّ النّبيّ صلى الله عليه و سلم كان يصُوم عاشُوراءَ و تسْعاً من ذيْ الحجَّةِ و ثلاثةٍ أيّامٍ من شَهرٍ

“Bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa ‘Asyuro` dan (juga berpuasa) sembilan hari di bulan Dzulhijjah serta tiga hari di setiap bulannya.” (HR. Abu Dawud: 2437, lihat Shahih Sunan Abi Dawud 2/78)

Namun, apabila amalan ini terasa berat, maka seseorang dapat mencukupkan diri dengan puasa pada tanggal 9 Dzulhijjah. Puasa ini dikenal pula dengan nama puasa Arafah karena pada tanggal tersebut, orang yang sedang menjalankan haji berkumpul di Arafah untuk melakukan runtutan amalan yang wajib dikerjakan pada saat berhaji yaitu ibadah wukuf.

Walau ibadah puasa ini hukumnya sunnah (jika mengerjakan mendapat ganjaran dan jika meninggalkan tidak mendapat hukuman), namun amat disayangkan jika kita melewatkan kesempatan untuk menghapuskan dosa-dosa selama dua tahun, yaitu setahun sebelumnya dan setahun sesudah puasa Arafah. Hal ini berdasarkan sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

يٌكَفِّرُ السَّنة المَاضٍيَةَ و البَاقٍيَةَ

“(Puasa Arafah akan) menghapus dosa-dosa kecil setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” (HR. Muslim: 1162)

Takbir, Tahlil dan Tahmid

Amalan lainnya yang dapat dikerjakan adalah membaca takbir, tahlil dan tahmid pada sepuluh hari di awal bulan Dzulhijjah, baik di jalan-jalan, maupun di pasar-pasar.

لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ

“…dan hendaklah kalian berdzikir (menyebut) nama Allah pada hari-hari yang sudah ditentukan…” (QS. Al-Hajj [22]: 28)

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu mengatakan bahwa yang dimaksud “..hari-hari yang sudah ditentukan…” pada ayat di atas adalah sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah.

Dan pada ayat yang lain, Allah berfirman,

وَاذْكُرُواْ اللّهَ فِي أَيَّامٍ مَّعْدُودَاتٍ فَمَن تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَن تَأَخَّرَ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقَى وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ

“… Dan sebutlah nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan…” (QS. Al-Baqarah [2]: 203)

Yaitu pada hari tasyrik, yaitu tanggal 11, 12 dan 13 bulan Dzulhijjah.

Adapun takbir, tahlil dan tahmid, maka tidak ada lafal khusus yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, terdapat riwayat dari sebagian sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu pernah mengucapkan:
الله أكبر الله أكبر، لا إلَهَ إلاَّ اللهُ، و اللهُ أكبر، اللهُ أكبرُ و لِلّهِ الحَمدُ
“Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, tidak ada ilah yang berhak diibadahi kecuali hanya Allah semata. Dan Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, dan segala puji hanya bagi Allah.” (HR. Ibnu Abi Syaibah (II/168) dengan sanad shahih)

Ibnu ‘Abbas juga pernah mengucapkan

الله أكبر الله أكبر الله أكبر و لِلّهِ الحَمدُ الله أكبر وأجَلُّ الله أكبرُ عَلىَ ما هَدَا نا

“Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, segala puji hanya bagi Allah. Allah Mahabesar lagi Mahaagung. Dan Allah Mahabesar atas petunjuk yang telah diberikan kepada kita.” (HR. Ibnu Abi Syaibah (II/168) dengan sanad shahih).

Yang perlu diingat saudariku, dalam melakukan takbir, tahlil dan tahmid ini dikerjakan secara sendirian. Artinya, takbir tersebut tidak dipimpin oleh seseorang dengan maksud agar menyuarakan takbir secara serempak. Karena telah ada contoh dari sifat takbir tersebut, yaitu dilakukan secara sendirian, maka kita tidak boleh membuat sifat takbir yang baru dengan anggapan itu baik karena sebuah ibadah tidak bisa diukur dengan akal semata.

Tidak Memotong Rambut dan Kuku bagi yang Berkurban

Adapun bagi seseorang yang hendak berkurban, maka sejak masuk bulan Dzulhijjah sampai hewan kurbannya disembelih hendaknya tidak memotong rambut dan kukunya secara sengaja. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan salah satu istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Ummu Salamah radhiallahu ‘anhu bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

من كان له ذبحٌ يذبحُهُ، فإذا أهَلّ هِلال ذِى الحجّةِ فلا يأخذنَّ من شعره و لا من أظفالره شئا حتى يٌُضَحِّيَ

“Barangsiapa mempunyai hewan sembelihan yang akan ia kurbankan, maka jika telah masuk bulan dzulhijjah hendaklah tidak mencukur rambut, atau memotong kukunya sedikitpun sampai ia menyembelih kurbannya.” (HR. Muslim)

Berkurban

Nah… tentu saja untuk ibadah yang satu ini semua orang telah mengetahuinya. Namun, bagaimana dengan hukum berkurban itu sendiri. Apakah wajib atau sunnah? Ternyata ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Namun, pendapat yang lebih kuat sebagaimana dikatakan oleh Syaikh ‘Ali Hasan hafidzahullah dalam kitab Ahkamul ‘Aidain, bahwa hukum menyembelih binatang kurban bagi seseorang adalah wajib bagi yang mampu. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberi penjelasan yang lebih rinci setelah memberikan penjelasan tentang lemahnya pendapat orang yang mengatakan bahwa hukumnya sunnah. Beliau rahimahullah mengatakan, “Tidak setiap orang wajib menyembelih kurban, tetapi yang wajib adalah bagi orang yang mampu saja dan dia itulah yang hendaknya menyembelih kurban.” (Majmuu’ al Fataawaa (XXIII/162-164) dinukil oleh Syaikh ‘Ali Hasan). Salah satu dalil tentang wajibnya ibadah ini adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

من كان له سعةُ و لم يُضَحِّ فلا يَقربنَّ مُصلا نا

“Barangsiapa memiliki keleluasaan (rezeki) lalu dia tidak berkurban, maka janganlah dia mendekati tempat sholat kita.” (HR. Ahmad (1/321), Ibnu Majah (3213), sanadnya hasan)

Tidak Makan Sebelum Shalat ‘ied

Jika sebelum shalat ‘idul fithri kita disunnahkan makan kurma sebelum shalat, maka pada hari raya ‘Idul Adh-ha, maka kita disunnahkan tidak makan hingga kembali dari tempat shalat. Sebagaimana diriwayatkan dari Buraidah radhiallahu ‘anhu, dia berkata,
كان النبي صلى الله عليه و سلم لا يخرج يوم الفطر حتى يطعم و يوم النّحر لا يأكل حتى يرجع فيأكُلُ من نَسِيكَتِهِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berangkat pada hari raya ‘Idul fithri sampai beliau makan terlebih dahulu dan pada hari raya ‘Idul Adhha beliau tidak makan sampai pulang, kemudian beliau makan dari daging hewan-hewan kurbannya.” (HR. Tirmidzi (542))

Mandi

Mandi mungkin menjadi aktifitas biasa yang kita lakukan sehari-hari. Akan tetapi, ketika hari raya, ternyata mandi bisa bernilai ibadah lho. Ibnu Qudamah mengatakan, “Disunnahkan untuk membersihkan diri dengan mandi pada hari raya ‘ied. Ibnu ‘Umar biasa mandi pada hari raya ‘Iedul Fithri. Hal tersebut diriwayatkan dari ‘Ali radhiallahu ‘anhu. Dan hal itu pula yang dikemukakan oleh Alqamah, ‘Urwah, ‘Atha’, an Nakha’i, asy Sya’bi, Qatadah, Abu az Zinad, Malik, asy Syafi’i dan Ibnul Mundzir.” (Al Mughni (II/370).

Pergi ke Tanah Lapang untuk Shalat ‘Ied

Hal ini dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana diriwayatkan oleh Sa’id al Khudri radhiallahu ‘anhu, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat pada hari raya ‘iedul fithri dan ‘iedul adh-ha ke tanah lapang.” (HR. Bukhari dan Muslim). Padahal kita tahu dari hadits lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صلاةٌ في مَسجدِي هَذا أَفْضَلُ مِن أَلفِ صَلاةٍ فِيما سِوَاهُ إلاَّ المَسجِدَ الحَرَام

“Sholat di masjidku ini (Masjid Nabawi) lebih baik dari seribu kali sholat di masjid lainnya kecuali Masjidil Haram.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Walaupun keutamaan Masjid Nabawi dan Masjidil Haram demikian besar, namun pada saat hari raya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap melaksanakan sholat ‘ied di tanah lapang. Tentu saja teladan yang paling baik adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Demikian beberapa amalan berhari raya ‘iedul adh ha yang bisa penulis sampaikan. Semoga di kesempatan lain, penulis dapat menjelaskan amalan-amalan yang dilakukan saat berhari raya secara lebih rinci terutama berkaitan dengan sholat ‘ied itu sendiri.

Sumber : muslimah.or.id

Maraji’:

Meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Dalam Berhari Raya. Syaikh ‘Ali Hasan bin ‘Ali al-Halabi al-Atsary. Pustaka Imam Asy-Syafii. Cet I
Majalah Al Furqon. Edisi 5 tahun V
Majalah Al Furqon. Edisi 5 tahun VI
Terjemah Riyadush Shalihin, takhrij Syaikh M. Nashiruddin Al Albani jilid 2. Imam Nawawi. Cetakan Duta Ilmu. 2003.




Dikirim tanggal : 2011-11-05 03:59:27
Pemateri : Ust. Aris Munandar
Pengirim : admin
E-mail : admin@taushiyah-online.com